Sabtu, 01 April 2017

MEMBANGUN SDM UNTUK MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA

Suasana Kegiatan Seminar Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) oleh Gen-PAPATAR di Wisma HKBP Pakkat (25/03/2017) yang dinarasumberi oleh Bapak Dr. Ir. SABAM MALAU (Rektor Univ. HKBP Nommensen), Bapak Prof. Dr. FRIETZ TAMBUNAN (Rektor UNIKA ST. THOMAS), Bapak MEKAR SINURAT, MH (Kepala Asrama SMA Plus YASOP), Bapak SAUL SITUMORANG, SE. M.Si (SEKDA Humbang Hasundutan) dan Bapak MANAEK HUTASOIT, SE (Ketua DPRD Humbang Hasundutan)

Tujuh puluh satu tahun lebih setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, perkembangan hampir di semua sektor kehidupan negara bangsa di era globalisasi ini jauh tertinggal dari negara tetangga yang kemerdekaannya diperoleh beberapa tahun setelah Indonesia.

Sebelum China menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, kita masih bisa berkilah bahwa Indonesia tertinggal dari negara tetangga karena wilayah kita demikian luas dan penduduk Indonesia berlipat dari negara-negara tetangga. Namun, setelah China dengan jumlah penduduk enam kali penduduk Indonesia dan wilayah yang jauh lebih luas dari Indonesia mampu mendominasi perekonomian dunia, kita patut bertanya, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional Indonesia sehingga setelah 68 tahun merdeka belum juga menjadi bangsa yang cerdas kehidupannya, maju kebudayaannya, dan sejahtera kehidupan rakyatnya?”

Secara sederhana, kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan belum cerdas di antaranya dilihat dari  indikator berikut: musim kering kekurangan air bersih, musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, jika ada bencana alam tidak dapat mengatasi sendiri dan sangat bergantung kepada bantuan bantuan asing, baik dalam modal maupun teknologi, wabah penyakit yang berulang kali muncul dan mematikan namun tidak diupayakan secara strategis bagaimana mengatasinya, masih rendahnya atau belum terbangunnya infrastruktur teknologi, rendahnya daya saing dalam segala bidang, termasuk olah raga, dan tingginya ketergantungan kita kepada teknologi impor. Dari sekian persoalan tersebut PAPATAR memiliki beberapa persoalan yang lebih pokok, yaitu rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi, mindset pemuda yang masih kolot (kondisi cara yag bikir yang monoton). Hal ini bisa kita lihat masih banyaknya anak-anak yang bingung untuk melangkah setelah tamat pendidikan menengah. Ada yang memilih merantau, bertahan dikampung bersama orang tua tak jarang dari mereka hanya menjadi penambah jumlah pekerja sehari-hari orang tuanya seperti tak punya cita-cita bahkan ada yang memilih untuk langsung menikah. Menurut riset yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Pakkat (HIMAPA), hanya sekitar 10 % dari mereka yang berminat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain itu, cita-cita memajukan kebudayaan nasional pun masih jauh dari tercapai karena setelah 68 tahun merdeka belum juga terbangun budaya demokratis, berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, rendahnya produktivitas bangsa dalam IPTEK maupun ekonomi serta, masih rendahnya semangat bersatu.

Kemudian, bahwa tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari terwujudnya cita-cita “terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, antara lain dapat dilihat dari tingginya pengangguran, rendahnya tingkat kebugaran dan kesehatan rakyat, dan rendahnya tingkat pendidikan warga negara. Berangkat dari pertanyaan pokok, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional sehingga cita-cita para pendiri republik ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kebudayaan nasional, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belum juga nampak akan terwujud?” Tulisan ini tidak bermaksud  untuk mencari atau mengidentifikasikan kesalahan tersebut, melainkan akan mencoba melakukan renungan analitik terhadap makna amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional dalam membangun negara bangsa Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan.

Pendiri republik sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara satu per satu dikuasai dan dijajah oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris, dan Belanda) karena setelah Imperium Sriwijaya dan kemudian Majapahit runtuh dari dalam seperti runtuhnya Romawi, Nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil. Akibatnya, selama hampir tiga ratus lima puluh tahun penghuni Nusantara secara kultural dalam kondisi status quo, sebagian besar rakyat tidak tersentuh oleh budaya peradaban modern yang rasional maupun berorientasi IPTEK. Oleh karena itu, untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain ini berarti seluruh rakyat Indonesia harus menjadi warga negara dari bangsa yang modern, yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan berorientasi IPTEK dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya. Untuk itulah pendiri republik menyusun UUD yang lebih dari UUD negara lain yaitu menetapkan ketentuan tentang kewajiban “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” dan “memajukan kebudayaan nasional bangsa Indonesia.”

Sangat disayangkan bahwa setelah para  pendiri republik ini meninggalkan gelanggang penyelenggaraan negara, berbagai kebijakan unggul yang ditempuh oleh para pendiri republik ditinggalkan. Di sini penulis berpandangan penulis bahwa kondisi belum cerdasnya kehidupan bangsa dan belum majunya kebudayaan nasional, salah satu akarnya adalah diabaikannya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, yang bermakna juga kurang dipahaminya makna fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.


Oleh BERNATA MANALU (SEKUM Gen-PAPATAR)

Refrensi: Google

2 komentar: