Tujuh puluh satu tahun
lebih setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, perkembangan
hampir di semua sektor kehidupan negara bangsa di era globalisasi ini jauh
tertinggal dari negara tetangga yang kemerdekaannya diperoleh beberapa tahun
setelah Indonesia.
Sebelum China menjadi
salah satu raksasa ekonomi dunia, kita masih bisa berkilah bahwa Indonesia
tertinggal dari negara tetangga karena wilayah kita demikian luas dan penduduk
Indonesia berlipat dari negara-negara tetangga. Namun, setelah China dengan
jumlah penduduk enam kali penduduk Indonesia dan wilayah yang jauh lebih luas
dari Indonesia mampu mendominasi perekonomian dunia, kita patut bertanya, “Apa
yang salah dengan strategi pembangunan nasional Indonesia sehingga setelah
68 tahun merdeka belum juga menjadi bangsa yang cerdas kehidupannya, maju
kebudayaannya, dan sejahtera kehidupan rakyatnya?”
Secara sederhana,
kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan belum cerdas di
antaranya dilihat dari indikator berikut: musim kering kekurangan air
bersih, musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, jika ada bencana alam
tidak dapat mengatasi sendiri dan sangat bergantung kepada bantuan bantuan
asing, baik dalam modal maupun teknologi, wabah penyakit yang berulang kali
muncul dan mematikan namun tidak diupayakan secara strategis bagaimana
mengatasinya, masih rendahnya atau belum terbangunnya infrastruktur teknologi,
rendahnya daya saing dalam segala bidang, termasuk olah raga, dan tingginya
ketergantungan kita kepada teknologi impor. Dari sekian persoalan tersebut
PAPATAR memiliki beberapa persoalan yang lebih pokok, yaitu rendahnya kesadaran
akan pentingnya pendidikan tinggi, mindset pemuda yang masih kolot (kondisi
cara yag bikir yang monoton). Hal ini bisa kita lihat masih banyaknya anak-anak
yang bingung untuk melangkah setelah tamat pendidikan menengah. Ada yang
memilih merantau, bertahan dikampung bersama orang tua tak jarang dari mereka
hanya menjadi penambah jumlah pekerja sehari-hari orang tuanya seperti tak
punya cita-cita bahkan ada yang memilih untuk langsung menikah. Menurut riset
yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Pakkat (HIMAPA), hanya sekitar 10 % dari
mereka yang berminat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain
itu, cita-cita memajukan kebudayaan nasional pun masih jauh dari tercapai
karena setelah 68 tahun merdeka belum juga terbangun budaya demokratis, berpotensi
terjadinya disintegrasi bangsa, rendahnya produktivitas bangsa dalam IPTEK
maupun ekonomi serta, masih rendahnya semangat bersatu.
Kemudian, bahwa tingkat
kesejahteraan rakyat masih jauh dari terwujudnya cita-cita “terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, antara lain dapat dilihat
dari tingginya pengangguran, rendahnya tingkat kebugaran dan kesehatan rakyat,
dan rendahnya tingkat pendidikan warga negara. Berangkat dari pertanyaan pokok,
“Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional sehingga cita-cita para
pendiri republik ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kebudayaan
nasional, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belum
juga nampak akan terwujud?” Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari
atau mengidentifikasikan kesalahan tersebut, melainkan akan mencoba melakukan
renungan analitik terhadap makna amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kebudayaan nasional dalam membangun negara bangsa Indonesia sebagai
Negara Kesejahteraan.
Pendiri republik sadar
bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara satu per satu dikuasai dan dijajah
oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris, dan Belanda)
karena setelah Imperium Sriwijaya dan kemudian Majapahit runtuh dari dalam
seperti runtuhnya Romawi, Nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil.
Akibatnya, selama hampir tiga ratus lima puluh tahun penghuni Nusantara secara
kultural dalam kondisi status quo, sebagian besar rakyat tidak
tersentuh oleh budaya peradaban modern yang rasional maupun berorientasi IPTEK.
Oleh karena itu, untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain ini berarti
seluruh rakyat Indonesia harus menjadi warga negara dari bangsa yang modern,
yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan berorientasi
IPTEK dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya. Untuk
itulah pendiri republik menyusun UUD yang lebih dari UUD negara lain yaitu
menetapkan ketentuan tentang kewajiban “pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” dan “memajukan kebudayaan
nasional bangsa Indonesia.”
Sangat disayangkan bahwa
setelah para pendiri republik ini meninggalkan gelanggang penyelenggaraan
negara, berbagai kebijakan unggul yang ditempuh oleh para pendiri republik
ditinggalkan. Di sini penulis berpandangan penulis bahwa kondisi belum
cerdasnya kehidupan bangsa dan belum majunya kebudayaan nasional, salah
satu akarnya adalah diabaikannya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, yang
bermakna juga kurang dipahaminya makna fungsi mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Oleh BERNATA MANALU
(SEKUM Gen-PAPATAR)
Refrensi: Google
Mantap Gen-PAPATAR. Salut
BalasHapusMauliate
BalasHapus