SENJA DI TAPANULI-I
-AZARI TUMANGGOR-
SENJA DI TAPANULI adalah Sebuah Novel yang diperuntukkan
bagi semua yang bisa membaca, memahami, memaparkan dan mengimplementasikan jug
bagi mereka yang mempunyai kecintaan terhadap kemanusiaan terlebih kepada
orang-orang muda yang nantinya akan membawa negeri ini terbang ketempat yang
semestinya. Yaitu kesejahteraan sosial sebagai tujuan awal kita merdeka.
STOP BUNGKAM !!!
Kebanyakan generasi muda terjebak dalam kepentingan
masing-masing ideologis. Hingga melupakan tujuan kemanusiaan yang
semestinya dibangun oleh sebuah bangsa
dan Negara. Novel ini menggambarkan
hilangnya sebuah generasi dalam sebuah tatanam peradaban modern akibat
dialektika yang tak berarti. (AZARI TUMANGGOR)
Ya, aku, kau dan dia tidak bisa. Tapi, kita bisa. Hari ini
takkan ada tanpa peristiwa kemarin. Besok takkan kita, tanpa cita - cita
bersama (BERNATA MANALU)
![]() |
Foto Buku SENJA DI TAPANULI. Cover oleh BERNATA MANALU |
CUPLIKAN NOVEL….
Kupandangi dunia barat sore itu. Sepertinya aku lebih nyaman
duduk sendiri di trotoar yang semakin mendingin. Terlihat cahaya merah di ujung
yang sangat jauh. Sangat jauh seperti harapanku yang sudah memudar. Entah
kenapa mataku ingin menatap lebih lama, melihat matahari bersama diriku yang
akan jatuh dan secepatnya bersemanyam dengan bumi. Pikiranku berkecambuk, sungguh aku tak rela
dibuai oleh malam yang pahit!
“Ini adil buatku?”, aku bergumam.
Akhir-akhir ini memang
begitu rumit, seolah alam enggan melahirkan kehidupan yang layak bagi manusia.
Hasil pertanian desa pun tak laku lagi di pasaran. Apakah manusia sudah seharga
dengan kotorannya sendiri? Aku mencoba menjawab sendiri setiap pertanyaan yang
timbul dalam pikiranku. Belum lagi wanita itu. Ahhh.. mengapa dia begitu
berada?
Mataku kembali menatap sunset. Terlihat seperti cahaya terakhir yang akan diberikan
pada kehidupan. Tiba-tiba, mataku meneteskan air bening. “Mengapa?”, hatiku
terbata-bata. Air mata yang selama ini jadi bukti kelemahan ternyata jatuh juga
bahkan membanjiri wajahku. Kehormatanku tumbang. Kuingat bisikan dirinya
kemarin malam bahwa dia mencintaiku. Dan itu juga telah membuatku menjerit dan
terperangkap dalam kedinginan jiwa sepanjang malam.
“Apa dia akan peduli?”, kali ini pertanyaan itu muncul
bertubi-tubi. Hanya butuh waktu sedikit dia sudah mampu menggoncang batinku.
Sekarang aku tiba-tiba terlihat seperti Romeo yang tergila-gila dengan cinta.
Impianku yang dulu sudah sampai kelangit dan menembus
bintang-bintang, kini terjatuh ke dasar lautan. Lautan yang paling dalam hingga
tak mampu jatuh lagi. Apa itu nyata? Sering kali itu muncul ketika tanganku
bergerak menggoreskan pena di ujung buku hitamku yang lusuh. Namun sekarang semua tak lagi sama. Seolah waktu
sudah tak ada lagi harganya dalam peradaban.
"Ah, tidak. Aku mencintainya. Dan aku merelakan apa pun
untuk cinta", seperti biasa aku bertempur dalam pikiranku.
“Bukankah nenek moyangmu dulu telah mengorbankan hidupnya
selama 350 tahun untuk kemauan Belanda? Telah melayani mereka seperti Tuhannya
sendiri di tiap sudut Hindia yang luas ini? Barangkali semenjak pejuang
kebebasan telah ditumpas, seperti Diponegoro, Sisingamangaraja XII, Cut Nyak
Dien, dan masih banyak lainnya, baru bermunculanl pengecut sepertimu. Yang
takut karna cinta pada anak, dan istrinya kemudian merelakan apa pun menjadi kaki tangan kolonial untuk menjajah
bangsanya sendiri? Dan kau Putra, bukankah kau juga telah menghina pendidikan? Orang semacam
generasimu hanya bisa disadarkan oleh ajaran kebajikan. Seperti Soekarno,
keturunan bangsawan itu, sadar setelah mendapat pendidikan Eropa kemudian
berjuang melalui organisasi. Tan Malaka, juga pulang ke negerinya untuk
menyadarkan anak bangsa setelah mengetahui segala kebusukan kapitalisme dan
kolonial. Kau sudah baca beberapa bukunya Putra, tetapi apa yang sudah dilakukan generasi pengecut sepertimu?”,
entah alam dari mana mencoba menjejaki kemauanku.
Ku ingat dulu waktu aku mengatakan tidak untuk cinta.
Setelah berakhir dengan wanita sekelasku, aku memang sudah mulai belajar hal
baru. Belajar tentang peradaban dan pemikiran-pemikiran yang muncul di Eropa.
Bahkan aku menuangkan sendiri kepercayaan itu terhadapku. Seolah-olah aku
disana dengan prinsip yang kokoh, bahwa manusia akan terus berada dalam
kesepian, menghianati kemauan ilmu pengetahuan bila berpaut pada cinta. Itu
mengapa pria-pria telah banyak berada
dalam bayang-bayang mereka sendiri. Juga pejabat-pejabat negeri ini, banyak pindah ke jeruji penjara akibat
berpaut pada istrinya, pada cintanya, memaksa untuk korupsi, dan akhirnya
tenggelam dalam sejarah kejahatan manusia. Setidaknya pemikiran kerdil itu
menjadi langit tertinggi yang pernah kucapai ketika baru memasuki bangku
kuliah.
Kemudian datang Hotmaita, wanita kelahiran batak itu hadir
dengan perhatiannya dan perlahan mengisi hati yang dulu sudah kupaksa kering.
Perlahan aku menyukainya, lalu jatuh cinta seperti anak kecil pada Ibunya.
Seperti ukiran sejarah, kutelan sisi indah dan pahitnya cinta, segala ego,
prinsip satu persatu ku buang di pinggir jalan dan berlari mendekatinya. Aku
bahkan mirip seperti mahadewa yang mengejar cinta, dan coba bersekutu dengan
imannya. “Sudahlah, ini tak akan jadi seperti dulu". Aku tersadar dalam
pikiran panjang ini.
Senja rupanya tak lagi bersamaku. Dia meninggal dalam
hitamnya dunia. Membawaku dan terjebak dalam perputaran tatasurya tanpa
bintang. Semuanya gelap…
BERSAMBUNG......
Mantap 👍👍
BalasHapusMauliate
BalasHapus