Selasa, 04 Juli 2017

SEGERA TERBIT. NOVEL "SENJA DI TAPANULI" KARYA AZARI TUMANGGOR. PUTRA PAPATAR

SENJA DI TAPANULI-I
-AZARI TUMANGGOR-


SENJA DI TAPANULI adalah Sebuah Novel yang diperuntukkan bagi semua yang bisa membaca, memahami, memaparkan dan mengimplementasikan jug bagi mereka yang mempunyai kecintaan terhadap kemanusiaan terlebih kepada orang-orang muda yang nantinya akan membawa negeri ini terbang ketempat yang semestinya. Yaitu kesejahteraan sosial sebagai tujuan awal kita merdeka.

STOP BUNGKAM !!!

Kebanyakan generasi muda terjebak dalam kepentingan masing-masing ideologis. Hingga melupakan tujuan kemanusiaan yang semestinya  dibangun oleh sebuah bangsa dan Negara. Novel ini menggambarkan  hilangnya sebuah generasi dalam sebuah tatanam peradaban modern akibat dialektika yang tak berarti. (AZARI TUMANGGOR)

Ya, aku, kau dan dia tidak bisa. Tapi, kita bisa. Hari ini takkan ada tanpa peristiwa kemarin. Besok takkan kita, tanpa cita - cita bersama (BERNATA MANALU)

Foto Buku SENJA DI TAPANULI. Cover oleh BERNATA MANALU
CUPLIKAN NOVEL….

Kupandangi dunia barat sore itu. Sepertinya aku lebih nyaman duduk sendiri di trotoar yang semakin mendingin. Terlihat cahaya merah di ujung yang sangat jauh. Sangat jauh seperti harapanku yang sudah memudar. Entah kenapa mataku ingin menatap lebih lama, melihat matahari bersama diriku yang akan jatuh dan secepatnya bersemanyam dengan bumi.  Pikiranku berkecambuk, sungguh aku tak rela dibuai oleh malam yang pahit!
“Ini adil buatku?”, aku bergumam. 

Akhir-akhir ini memang begitu rumit, seolah alam enggan melahirkan kehidupan yang layak bagi manusia. Hasil pertanian desa pun tak laku lagi di pasaran. Apakah manusia sudah seharga dengan kotorannya sendiri? Aku mencoba menjawab sendiri setiap pertanyaan yang timbul dalam pikiranku. Belum lagi wanita itu. Ahhh.. mengapa dia begitu berada?

Mataku kembali menatap sunset. Terlihat  seperti cahaya terakhir yang akan diberikan pada kehidupan. Tiba-tiba, mataku meneteskan air bening. “Mengapa?”, hatiku terbata-bata. Air mata yang selama ini jadi bukti kelemahan ternyata jatuh juga bahkan membanjiri wajahku. Kehormatanku tumbang. Kuingat bisikan dirinya kemarin malam bahwa dia mencintaiku. Dan itu juga telah membuatku menjerit dan terperangkap dalam kedinginan jiwa sepanjang malam.

“Apa dia akan peduli?”, kali ini pertanyaan itu muncul bertubi-tubi. Hanya butuh waktu sedikit dia sudah mampu menggoncang batinku. Sekarang aku tiba-tiba terlihat seperti Romeo yang tergila-gila dengan cinta.

Impianku yang dulu sudah sampai kelangit dan menembus bintang-bintang, kini terjatuh ke dasar lautan. Lautan yang paling dalam hingga tak mampu jatuh lagi. Apa itu nyata? Sering kali itu muncul ketika tanganku bergerak menggoreskan pena di ujung buku hitamku yang lusuh. Namun  sekarang semua tak lagi sama. Seolah waktu sudah tak ada lagi harganya dalam peradaban.

"Ah, tidak. Aku mencintainya. Dan aku merelakan apa pun untuk cinta", seperti biasa aku bertempur dalam pikiranku.

“Bukankah nenek moyangmu dulu telah mengorbankan hidupnya selama 350 tahun untuk kemauan Belanda? Telah melayani mereka seperti Tuhannya sendiri di tiap sudut Hindia yang luas ini? Barangkali semenjak pejuang kebebasan telah ditumpas, seperti Diponegoro, Sisingamangaraja XII, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lainnya, baru bermunculanl pengecut sepertimu. Yang takut karna cinta pada anak, dan istrinya kemudian merelakan apa pun  menjadi kaki tangan kolonial untuk menjajah bangsanya sendiri? Dan kau Putra, bukankah kau juga  telah menghina pendidikan? Orang semacam generasimu hanya bisa disadarkan oleh ajaran kebajikan. Seperti Soekarno, keturunan bangsawan itu, sadar setelah mendapat pendidikan Eropa kemudian berjuang melalui organisasi. Tan Malaka, juga pulang ke negerinya untuk menyadarkan anak bangsa setelah mengetahui segala kebusukan kapitalisme dan kolonial. Kau sudah baca beberapa bukunya Putra, tetapi apa yang sudah  dilakukan generasi pengecut sepertimu?”, entah alam dari mana mencoba menjejaki kemauanku.

Ku ingat dulu waktu aku mengatakan tidak untuk cinta. Setelah berakhir dengan wanita sekelasku, aku memang sudah mulai belajar hal baru. Belajar tentang peradaban dan pemikiran-pemikiran yang muncul di Eropa. Bahkan aku menuangkan sendiri kepercayaan itu terhadapku. Seolah-olah aku disana dengan prinsip yang kokoh, bahwa manusia akan terus berada dalam kesepian, menghianati kemauan ilmu pengetahuan bila berpaut pada cinta. Itu mengapa pria-pria  telah banyak berada dalam bayang-bayang mereka sendiri. Juga pejabat-pejabat negeri ini,  banyak pindah ke jeruji penjara akibat berpaut pada istrinya, pada cintanya, memaksa untuk korupsi, dan akhirnya tenggelam dalam sejarah kejahatan manusia. Setidaknya pemikiran kerdil itu menjadi langit tertinggi yang pernah kucapai ketika baru memasuki bangku kuliah.

Kemudian datang Hotmaita, wanita kelahiran batak itu hadir dengan perhatiannya dan perlahan mengisi hati yang dulu sudah kupaksa kering. Perlahan aku menyukainya, lalu jatuh cinta seperti anak kecil pada Ibunya. Seperti ukiran sejarah, kutelan sisi indah dan pahitnya cinta, segala ego, prinsip satu persatu ku buang di pinggir jalan dan berlari mendekatinya. Aku bahkan mirip seperti mahadewa yang mengejar cinta, dan coba bersekutu dengan imannya. “Sudahlah, ini tak akan jadi seperti dulu". Aku tersadar dalam pikiran panjang ini.

Senja rupanya tak lagi bersamaku. Dia meninggal dalam hitamnya dunia. Membawaku dan terjebak dalam perputaran tatasurya tanpa bintang. Semuanya gelap…


BERSAMBUNG......

2 komentar: