Masa
Kecil-Remaja (1909-1929)
Sutan
Sjahrir lahir di Padang Panjang - Hindia Belanda, pada tanggal 5 Maret 1909. Ia
merupakan anak seorang Jaksa lokal yang bernama Mohamad Rasad Gelar Maharajo
Sutan, dan ibu bernama Puti Siti Rabiah. Ketika Sjahrir berusia empat tahun,
ayahnya diangkat oleh Sultan Deli untuk menjadi kepala jaksa sekaligus
penasihat di Kesultanan Deli.
Pengangkatan
jabatan yang sangat bergengsi ini membuat orangtua memiliki dana yang cukup
untuk menyekolahkan Sjahrir di sekolah-sekolah berkualitas di Medan dan
Bandung. Di Medan, Sjahrir mengenyam pendidikan di ELS & MULO terbaik di
Medan (ELS & MULO itu istilah SD & SMP jaman Belanda). Setelah lulus
dari MULO tahun 1926, Sjahrir melanjutkan sekolahnya ke AMS paling bergengsi di
Bandung (AMS istilah SMA zaman Belanda).
Punya
kesempatan besekolah di tempat bergengsi dengan kondisi finansial orangtua yang
berkecukupan gak bikin Sjahrir takabur, tapi justru dia pertanggungjawabkan
dengan optimal. Selama bersekolah, Sjahrir dianggap bintang kelas yang sangat
cerdas, rajin baca buku filsafat, dan sangat aktif dalam berbagai macam
kegiatan. Dari mulai klub teater, bermain musik biola, sampai ikut club sepak
bola di Bandung.
Saat
sebagian anak-anak muda Indonesia jaman sekarang males-malesan sekolah, Sjahrir
remaja malah MENDIRIKAN SEKOLAH untuk kaum miskin di Bandung pada umur 18
tahun! Sekolah rakyat ini dia kasih nama Tjahja Volksuniversiteit atau dalam
bahasa Melayu berarti “Universitas Rakyat Cahaya”. Di lembaga pendidikan ini,
entah berapa banyak anak-anak kurang mampu di Bandung yang diajari membaca dan
menghitung secara gratis.
Foto
para pendiri PNI yang merupakan arsip dari gedung Museum Sumpah Pemuda.
Serpak
terjang Sjahrir remaja gak cuma dalam bidang sosial aja, bersama
temen-temennya, Sjahrir mendirikan sebuah klub diskusi politik untuk para
pemuda di Bandung, yang dinamakan Patriae Scientiaeque. Kegiatannya di klub
diskusi itu membawa takdir pertemuan dengan sosok aktivis lain dari klub debat
tetangga (Algemenee Studie Club), yang dipimpinan seorang mahasiswa Bandung
Technische Hogeschool (ITB) bernama Koesno (alias Ir.Sukarno).
Sampai
akhirnya, Sukarno (26 tahun) bersama teman-temannya di klub diskusi mendirikan
Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Dalam partai itu, Sjahrir (18
tahun) dipercaya untuk mengurus organisasi pemuda PNI yang awalnya disebut Jong
Indonesien, lalu berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Bentuk kepercayaan yang
diberikan pada Sjahrir ini ia manfaatkan untuk membuat momentum bersejarah
bersama dengan Jong Indonesien pada tahun 1928, dengan mewujudkan Kongres
Pemuda Indonesia II yang menghasilkan semangat perjuangan baru, bernama Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928.
Sekarang
lo bayangin sosok seperti apa Sjahrir ketika remaja? Udah mah juara kelas,
doyan baca buku, punya jiwa seni, pandai main biola, suka olahraga, rajin
diskusi politik, mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin, hingga ikut
mewujudkan momentum pemberontakan yang sangat bersejarah bagi bangsa kita,
yaitu Sumpah Pemuda. Semua itu dia lakukan ketika beliau belum genap berumur 19
tahun! Emang sakti abis nih sang (calon) Bapak Bangsa kita!
Masa
Studi di Belanda & Perjuangan Awal (1929-1935)
Setelah
lulus dari AMS tahun 1929, Sjahrir melanjutkan kuliah di Eropa, tepatnya di
Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam. Tidak lama banget setelah keberangkatan
dirinya ke Amsterdam, pemimpin Hindia Belanda waktu itu Gubernur Jenderal
Andries Cornelis Dirk de Graeff, ngeluarin perintah buat nangkepin
pemimpin-pemimpin PNI termasuk Sukarno, Gatot Mangkupradja, dkk di tanah Hindia
Belanda. Nyaris banget Sjahrir ikut ditangkep, untung keburu kabur kuliah!
Sjahrir muda, saat kuliah di Belanda | sumber
foto : dokumentasi TEMPO
Pada
masa awal kuliahnya, Sjahrir aktif mengikuti kegiatan sebuah klub studi yang
bernama Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi yang diikutin sama
Sjahrir ini merupakan bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal
Demokratische Arbeiderspartij - SDAP). Pada klub inilah, Sjahrir untuk pertama
kalinya membedah secara mendalam gagasan-gagasan politik kelas dunia yang sedang
bergelora saat itu, seperti pemikiran Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx,
Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya. Mendapatkan kesempatan
pendidikan di Eropa benar-benar membuat pemikiran Sjahrir menjadi terbuka dari
berbagai macam gagasan serta situasi politik internasional yang sedang terjadi.
Sampai
pada akhirnya, karena masalah keuangan keluarga, Sjahrir terpaksa harus pindah
dan tinggal di rumah ketua klub SDAP sekaligus sahabatnya, Salomon Tas. Sejak
saat itu Sjahrir pindah kuliah ke Universiteit Leiden dan mulai belajar mandiri
dan bekerja di sebuah perusahaan transportasi. Pengalaman pertamanya bekerja
itu, membuat Sjahrir betul-betul merasakan ketidakadilan bagi kaum pekerja.
Pengalamannya bekerja serta aktivitasnya di serikat buruh inilah yang membuat
pemikiran Sjahrir semakin terarah pada gagasan sosialis demokratis yang
mengusung kesetaraan dan keadilan.
Sementara
itu, pergerakan awal untuk membebaskan Hindia Belanda sudah dimulai oleh para
senior Sjahrir, tepatnya oleh gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam
yang saat itu diketuai oleh Mohammad Hatta. Singkat kata, Bung Hatta yang saat
itu lagi ribet oleh berbagai macam hal, memerlukan sosok pendamping. Berita
tentang seorang pemuda berbakat yang bernama Sjahrir membuat Hatta memanggilnya
untuk membantu pergerakan dari Perhimpunan Indonesia sebagai sekretaris.
Sejak
saat itulah, duet maut 2 (calon) Bapak Bangsa Indonesia yang berbeda umur cukup
jauh ini dipertemukan dan mulai beradu gagasan kenegaraan demi cita-cita gila mereka
untuk memerdekakan Indonesia. Namun demikian, duet maut ini sempat mengalami
kendala karena konflik internal dalam PI, dimana sebagian besar anggotanya
menginginkan perjuangan kemerdekaan dari arah ideologi komunis, sementara
Sjahrir dan Hatta lebih cenderung ke arah sosialis & nasionalis. Akhirnya
Hatta dan Sjahrir pun dikeluarin dari keanggotaan PI.
Sementara
itu, keadaan perjuangan di tanah air juga sedang terhambat. Terutama pasca
penangkapan Soekarno tahun 1929 oleh de Graeff, pergerakan kemerdekaan yang
tadinya dimotori oleh PNI semakin ciut. Terlebih lagi, pecahan PNI yang
membentuk partai baru bernama Partindo malah bersikap cenderung kooperatif
terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Ketika pergerakan kemerdekaan Indonesia
hampir padam sepenuhnya, Hatta & Sjahrir segera membentuk surat kabar yang
dinamakan Daulat Ra’jat untuk terus menyuarakan suara pemberontakan pada Hindia
Belanda untuk membakar semangat pemberontakan.
Selain
aktif menulis di surat kabar, Hatta dan Sjahrir yang gemas dengan gerakan
lapangan akhirnya memutuskan untuk membentuk kembali PNI-Baru tahun 1931.
Berbeda dengan PNI-Lama bentukan Sukarno yang bersifat menggalang massa secara
serabutan, PNI-Baru ini lebih bersifat ke kaderisasi yang mengutamakan
pendidikan bertahap bagi para anggotanya untuk menjadi aktivis pergerakan
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kalo Sukarno fokus pada kuantitas, Sjahrir
& Hatta fokus pada kualitas. Nah, pada titik inilah Sjahrir & Hatta
kembali menegaskan bentuk perjuangan mereka bahwa cita-cita mereka bukan
sekedar mendapat kedudukan setara dengan Kerajaan Belanda sebagai anggota
persemakmuran, tapi untuk menjadikan Indonesia negara yang merdeka sepenuhnya.
Memulai
pergerakan PNI-baru di Hindia (1931-1934)
Pada
tahun 1931, Sjahrir memutuskan untuk sementara meninggalkan studinya dan
kembali ke Jakarta untuk terjun langsung dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia
dengan tokoh-tokoh dan aktivis nasional. Sementara Hatta masih di Belanda
karena kagok ingin menuntaskan gelar doctorandus yang tinggal sebentar lagi
selesai.
Sesampainya
di Batavia (nama Jakarta dulu), yang ada di kepala Sjahrir cuma satu hal, yaitu
gimana caranya ngerekrut pemuda-pemuda potensial untuk ikut gerakan kemerdekaan
(baca=gerakan pemberontakan) melawan Hindia Belanda. Tentu ini bukan hal mudah
untuk mengajak para kaum muda untuk memberontak, tapi kepiawan dan pengalaman
Sjahrir sewaktu aktif di serikat pekerja Belanda sangat membantu dalam
membentuk jaringan underground pemberontakan sampai-sampai tidak terdeteksi
(setidaknya sampai 1934) oleh polisi Hindia-Belanda.
Kaderisasi
kaum muda semakin gencar terutama ketika Sjahrir didaulat menjadi ketua umum
PNI-baru pada kongres PNI-Baru Yogjakarta 1932. Gagasan yang menginspirasi
Sjahrir dalam mendidik kaum muda bermuara pada ide-ide Karl Marx yang mengusung
kesejahteraan sosial, kesetaraan, serta kemandirian ekonomi. Peristiwa ini
dinilai cukup unik dalam sejarah, ketika biasanya ide sosialisme ditanamkan di
kalangan proletariat dan kaum buruh. Di tanah Hindia, gagasan ini malah diusung
oleh kaum terpelajar dan kalangan menengah atas. Akibatnya, gerakan ini
berjalan jadi jauh lebih cerdas dan terukur serta tidak mudah goyah oleh
isu-isu propaganda. Hal ini membuat Belanda semakin kewalahan dalam meredam
aktivitas gerakan Sjahrir, dkk.
Sjahrir bersama para pemuda
Tahun
1933, Hatta kembali ke tanah Hindia dengan menyandang gelar dokterandus.
Kedatangan Hatta disambut baik kalangan aktivis Hindia sekaligus membuat
Sjahrir menyerahkan kepemimpinan PNI-Baru ke seniornya tersebut. Sementara itu,
Sukarno yang sudah dibebaskan dari penjara Sukamiskin juga terus berjuang
melalui 'kendaraan' lain, yaitu Partindo. Pada saat itu, Sukarno & Partindo
yang fokus pada penggalangan massa secara kuantitatif mengklaim memiliki
pengikut lebih dari 20,000 orang, sedangkan PNI-Baru yang fokus pada kaderisasi
dan anggota yang terdidik, baru memiliki 1,000 anggota.
Gub
Jend, de Graeff yang pensiun tahun 1931 diganti oleh Bonifacius Cornelis de
Jonge. Baru aja ngejabat, Jonkheer de Jonge ini langsung pusing menghadapi
pergerakan para aktivis kemerdekaan yang semakin terkoordinir dan memiliki
basis massa. Akhirnya De Jonge mau gak mau harus kerja extra untuk memata-matai
serta menangkapi orang-orang yang terbukti terlibat dalam gerakan
pemberontakan. Salah satu tokoh yang ditangkep pertama adalah Sukarno (lagi)
tahun 1933. Khawatir dengan basis masa fans Sukarno yang banyaknya udah
kelewatan di Pulau Jawa, Sukarno dibuang jauh-jauh ke Ende, Flores. Februari
1934, giliran duet maut Sjahrir & Hatta yang diciduk.
Hatta
ditahan di Penjara Glodok, Batavia, sedangkan Sjahrir dijeblosin di Penjara
Cipinang, Meester Cornelis. Awalnya, sel tempat Sjahrir ditahan cukup lumayan
lah buat ukuran penjara. Tapi dalem hati Sjahrir tau gak lama juga dia bakal
senasib sama Sukarno, bakal dibuang di tempat gak jelas! Ternyata bener dugaan
dia, Desember 1934 Sjahrir, Hatta, dan banyak aktivis lain seperti Tjipto
Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dkk dibuang ke Boven Digoel, di pelosok
paling pelosok dari Pulau Papua.
Di
Pembuangan Digoel & Banda Neira (1935-1942)
Nyampe
di Digoel, Sjahrir bengong karena harus bikin rumah sendiri dengan nebang kayu
dari hutan lebat Papua. Boven Digoel adalah tanah pengasingan yang bener-bener
gak ada apa-apa. Kalaupun ada sedikit penduduk lokal, tetap kalah banyak
jumlahnya dengan nyamuk malaria dan buaya-buaya kelaparan di sepanjang rawa dan
sungai.
Berbeda
dengan Hatta yang introvert, pendiam, dan bisa dengan mudah larut berjam-jam
hanya dengan membaca buku. Sjahrir yang pembawaannya lebih extrovert,
bersemangat, spontan... merasa kesepian di tanah pengasingan. Di tanah buangan
tanpa ada rumah sakit, sekolah, dan kepastian akan masa depan. Sjahrir banyak
menghabiskan waktu untuk menulis surat pada istrinya Maria Duchateau di
Belanda, yang sudah lama tidak ia temui.
Sjahrir (tengah) bersama Hatta dan penduduk
lokal Banda Neira | sumber foto : dokumentasi TEMPO
Mungkin
karena rindu istri, kesepian, dan stress gak bisa berkarya lebih banyak di
pengasingan, kondisi psikologis Sjahrir mengalami demoralisasi. Doi jadi sering
banget nyelonong ke rumah-rumah Hatta, dr Tjipto, dkk pas tengah malem dengan
beralasan mau minta gula, garem, pokoknya ada-ada aja deh..! Padahal sebetulnya
kemungkinan Sjahrir cuma lagi kesepian pengen ditemenin ngobrol. Menurut
jurnalis senior Bang Rosihan Anwar, kalo Bung Hatta ditanyai tentang Sjahrir,
Hatta bilang "Ah si Sjahrir lagi terganggu pikirannya dan jadi agak
sinting!" hehehe...
2
Januari 1936, penderitaan Sjahrir, Hatta, dkk jadi agak mendingan karena
dipindahin ke Banda Neira, Maluku. Di tempat inilah akhirnya Sjahrir menemukan
kedamaian tinggal di daerah terpencil dengan di kelilingi penduduk lokal yang
bersahabat (bukan nyamuk malaria dan buaya lagi). Di Banda Neira, Sjahrir yang
extrovert dan bersemangat menyalurkan energinya untuk main sama anak-anak dan
mengajar penduduk lokal. Saking deketnya dia sama anak-anak di daerah itu, tiga
di antaranya dia angkat sebagai anak.
Sjahrir,
Hatta menanti pembebasan selama 5 tahun di Banda Neira, sampai Jepang menyerang
Pearl Harbour (Desember 1941), Kepulauan Pasifik, dan Malaya. Dalam ekspansi
wilayah itu, Pulau Ambon juga kena kepungan oleh Jepang. Untung belum
terlambat, pemerintahan Hindia memutuskan memindahkan Sjahrir dan
tahanan-tahanan lain ke Pulau Jawa sampai akhirnya Jepang betul-betul menguasai
Nusantara, dan membebaskan semua tawanan politik Hindia Belanda.
Penguasaan
Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)
Maret
1942, Belanda nyerah kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan berlangsung cepet
banget. Untuk memudahkan Jepang mendapat dukungan rakyat setempat, para tokoh
pemberontak seperti Hatta, Sjahrir, dkk dibebasin gitu aja sama tentara-tentara
Jepang. Menyusul bulan Juli 1942, Bung Karno juga dibebaskan dari pengasingan
di Bengkulu. Setibanya di Jakarta, Sukarno memutuskan untuk bertemu dengan
Hatta dan Sjahrir di rumahnya Hatta. Pertemuan ini bisa dibilang moment yang
sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun
1931, tiga tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya.
dari kiri ke kanan : Sjahrir, Sukarno, Hatta |
dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia
Dari
hasil pertemuan itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu
mengikuti keinginan Jepang, agar kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa
perlu pertumpahan darah. Sementara itu, Sjahrir menolak bentuk perjuangan yang
berkooperasi dengan Jepang dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara
underground dengan membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap
terjaga dari akar rumput. Akhirnya Sukarno & Hatta memilih jalan untuk
berkooperasi dengan Jepang dengan harapan Indonesia dapat merdeka tanpa perlu
membuang nyawa melawan tentara Jepang yang bahkan mampu memukul mundur Belanda
hanya dalam beberapa bulan.
Keputusan
Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang seringkali menjadi
polemik moral yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di satu sisi, Bung
Karno & Hatta menganggap cara yang mereka tempuh adalah "langkah yang
paling taktis" agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan
diri tanpa perlu berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya sangat
mengerikan. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan Malaka, bahkan
juga Sjahrir, Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk
melawan Jepang secara terang-terangan. Puncaknya adalah ketika Jepang
memberlakukan romusha (1942-1945) bagi 4-10 juta penduduk lokal untuk membangun
basis militer, terowongan, dan pengangkutan bahan pangan bagi Jepang.
Menjelang
pertengahan 1945, Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan pasifik
melawan sekutu. Berdasarkan analisa Sjahrir, ini adalah saat yang paling tepat
untuk menyatakan kemerdekaan, ia lalu mendesak Bung Karno untuk segera
menyatakan kemerdekaan. Akan tetapi, Sukarno yang udah kepalang basah kerja
sama dengan Jepang, memilih untuk berkonsultasi sama Jepang dulu biar ga
terjadi pertumpahan darah. Hal ini membuat Sjahrir kecewa dan semakin gemas
mendesak tokoh-tokoh besar lain untuk berani menyatakan kemerdekaan, termasuk
Bung Hatta & Tan Malaka, tapi semuanya belum berani secara terang-terangan
melangkahi kekuasaan Jepang.
Hari-hari
menjelang kemerdekaan...
Setelah
Bom Atom sekutu menghancurkan Hiroshima & Nagasaki (7 & 9 Agustus
1945), analisa Sjahrir sejak berbulan-bulan lalu tentang kekalahan telak Jepang
semakin menjadi kenyataan. Lobby demi lobby dia terus mendesak Sukarno &
Hatta untuk terus mendeklarasikan proklamasi, tapi "nanti-nanti"
terus jawabannya. Sampai hari yang dijanjikan Sukarno akhirnya tiba (15 Agustus
1945) itulah yang sejatinya tanggal proklamasi yang direncanakan. Tapi karena
kondisi keamanan yang sangat tidak kondusif mengingat Jepang baru aja sehari
nyerah sama Sekutu, Sukarno lagi-lagi menunda kemerdekaan. Di sisi lain,
Sjahrir yang udah mengerahkan ribuan orang dari pelosok Jawa untuk datang ke
Jakarta, lagi-lagi jengkel dengan Sukarno.
Para
pemuda pengikut Sjahrir ikutan jengkel karena pembatalan ini, dan mendesak
Sjahrir untuk langsung mengumumkan kemerdekaan! Walaupun jengkel dengan
Sukarno, Sjahrir menolak untuk menyatakan kemerdekaan, karena menurut dia
Sukarno tetap orang yang paling layak untuk melakukannya, terutama karena basis
pendukungnya yang sangat banyak dan kharismanya yang selangit. Sjahrir tetap
bersabar, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan sendiri.
Pengibaran bendera merah putih sesaat setelah
proklamasi tanpa dihadiri Sjahrir
Puncak
ketegangan ini memuncak ketika kelompok pemuda dari Menteng (Wikana, dkk)
menculik Sukarno & Hatta ke Rengasdengklok. Ketika dengar berita bahwa
Dwitunggal beneran diculik oleh pemuda, Sjahrir kaget setengah mati! Bayangin
aja, di detik-detik yang menentukan kemerdekaan, sekelompok remaja tanggung
berdarah panas malah nyulik tokoh sentral Indonesia!! Menurut gosipnya sih, saking
marahnya Sjahrir, salah satu geng pemuda itu ditabokin sama dia, hehehe...
Akhirnya
Sukarno-Hatta dijemput balik sama Ahmad Subardjo untuk menyusun teks proklamasi
di rumah Tadashi Maeda, Menteng. Keesokan harinya 17 Agustus 1945, akhirnya
peristiwa yang dimimpikan oleh para tokoh awal pergerakan Indonesia sejak tahun
1931 terjadi juga. Indonesia akhirnya menyatakan proklamasi kemerdekaan.
Sjahrir, sebagai tokoh arsitek gerakan underground yang selalu bergerak di
belakang panggung, memutuskan untuk tidak hadir dalam momentum paling
bersejarah itu.
Diplomasi
cerdik Bung Kecil untuk mendapat pengakuan Internasional (1945-1949)
Berdasarkan
kacamata Indonesia, bangsa ini memang sudah merdeka, tapi masih sangat rapuh.
Untuk menjaga status kemerdekaan yang masih bayi ini, Negara Indonesia
membutuhkan bentuk sistem pemerintahan yang jelas dan terstruktur. Keesokan
harinya Sukarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil
presiden - keduanya berperan sebagai lembaga eksekutif. Sementara itu, dibentuklah
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang kemudian berfungsi sebagai badan
legislatif (DPR) agar jadi penyeimbang keberadaan eksekutif. Elemen pemerintah
yang krusial ini, dipercayakan kepada Sjahrir untuk menjadi ketua KNIP. Sampai
pada akhirnya,14 November 1945 Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri
Indonesia yang pertama pada umur 36 tahun.
Pasca
kemerdekaan, Indonesia memiliki 2 PR besar, yaitu: (1) upaya mempertahankan
status kemerdekaan dari serangan militer Belanda maupun daerah-daerah terpencil
yang masih dikuasai sisa tentara Jepang. (2) Upaya memenangkan pengakuan dunia
internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian.
Lagi-lagi,
terdapat perselisihan cara pandang antar para Bapak Bangsa kita. Bagi Tan
Malaka dan Sudirman yang berjuang di garis depan, kita tidak perlu lagi
berunding dengan pihak luar untuk mencapai kemerdekaan yang utuh. Sementara
bagi Hatta dan (terutama) Sjahrir, kemerdekaan yang realistis sesungguhnya
hanya bisa dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan
angkat senjata. Setelah berbagai macam drama perselisihan antar 2 kubu Bapak
Bangsa kita. Pada akhirnya, Jendral Sudirman & Tan Malaka banyak berperan
pada PR pertama untuk meredam agresi militer. Sementara Sjahrir dan Bung Hatta
fokus pada misi kedua, mendapatkan pengakuan dunia internasional.
Dalam
upaya menuntaskan misi kedua ini, ada 2 prestasi Sjahrir yang bikin dia
dikenang sebagai diplomat ulung yang sangat cerdik membaca situasi dunia
internasional. Pertama adalah keputusan cerdiknya untuk memberikan bantuan pada
India yang saat itu sedang krisis pangan, dengan mengirim 500,000 ton beras
pada 20 Agustus 1946! India yang saat itu masih berada dalam koloni Inggris
menyambut baik bantuan itu. Inggris yang memiliki kekuatan politik yang besar
di Eropa, mulai menaruh simpatik pada Negara baru "kemarin sore"
bernama Indonesia. Dengan sambutan baik Inggris, pada Indonesia. Belanda jadi
makin keki.
Sjahrir bersama Nehru (PM India)
Jeniusnya
lagi, kemungkinan Sjahrir sudah meramalkan India akan segera merdeka dari
kolonisasi Inggris dan memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Bener aja,
India merdeka dari kolonisasi Inggris 15 Agustus 1947. Jawaharlal Nehru, Bapak
Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama masih ingat bantuan dari
Sjahrir, akhirnya mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi Hubungan
Negara-negara Asia di New Delhi. Di acara ini, jaringan internasional Sjahrir
makin berkembang dan akhirnya dia diundang ke berbagai negara untuk
memperkenalkan Indonesia. Inilah kenapa strategi diplomasi Sjahrir seringkali
disebut "diplomasi kancil", sekali tepuk 2 lalat coy! Setelah dari
India, Sjahrir melanjutkan diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma,
dan Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia
kepada Indonesia. Makin keki banget deh Belanda!
Prestasi
kedua Sjahrir adalah trik jitu Sjahrir mensiasati hasil Perundingan
Linggarjati. Pada November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan
delegasi Republik buat nyelesein sengketa wilayah Indonesia. Dengan segala cara
Sjahrir mengupayakan agar Belanda mau berunding, termasuk dengan cara ngelobby
temen-temen dia pas kuliah dulu yang sekarang udah pada jadi pejabat di
Belanda. Gayung bersambut, Sjahrir akhirnya berhasil ngadain Perundingan
Linggarjati. Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah
Indonesia, tapi dengan cerdiknya Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu
pasal perundingan tingkat PBB kalo-kalo aja nanti ada perselisihan di kemudian
hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju-setuju aja karena hasil perjanjiannya
nguntungin Belanda banget.
Ujung-ujungnya,
pasal tambahan usulan Sjahrir itulah yang nyelametin Indonesia ketika Belanda
ngelancarin Agresi Militer I tahun 1947. Berkat adanya pasal ini, Belanda
terbukti melanggar perjanjian dan harus menuntaskan persengketaan wilayah ini
pada sidang Internasional. Momentum inilah yang membuat seluruh dunia melek
bahwa Republik Indonesia sedang ditindas oleh mantan penguasa koloninya. Dunia
semakin berpihak pada NKRI. Belanda tersandung keserakahannya sendiri.
Ibarat
pemain catur, Sjahrir awalnya memberikan umpan yang kemudian berbalik menjadi
serangan balasan yang merontokan pertahanan politik Belanda. Namun pada
akhirnya, giliran Bung Hatta yang menjebol pertahanan terakhir Belanda dengan
pukulan telak di Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949).
Skakmat! Bung Hatta pulang ke tanah air dengan kemenangan penuh, karena telah
berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia
internasional. Di sini kita bisa lihat, kalau bukan karena Bung Sjahrir,
Indonesia mungkin gak pernah kepikiran untuk maju lewan jalan diplomasi dan perundingan.
Kalo bukan karena kecerdikan Sjahrir juga, dukungan dunia internasional tidak
akan sederas itu untuk membela Indonesia di KMB.
Perlahan
Turun dari Panggung Politik (1950-1966)
Karir
diplomasi manis Sjahrir sebagai PM ternyata tidak seharum itu di mata
orang-orang di kelompok pejuang, seperti Tan Malaka, Sudirman, dkk. Begitu pula
Bung Karno dan Amir Sjarifuddin belakangan banyak berselisih pendapat dengan
Sjahrir. Puncaknya ketika Sjahrir dan Bung Karno sering cekcok beradul mulut
ketika keduanya disembunyikan ke Brastagi dalam kemelut agresi militer Belanda
II. Maka dari itu, setelah era Demokrasi Liberal dimulai (1950), Sjahrir
konsentrasi untuk membangun Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk menghadapi
pemilihan umum pertama tahun 1955.
Di
partai ini ide-ide sosialisme demokrat Sjahrir makin diusung kepada para
simpatisannya. Kalo lo mau tau ide-ide sosialis Sjahrir yang dia tawarkan dalam
PSI ini, lo tinggal lihat aja sistem pemerintahan di Jerman, Perancis, Swedia,
Belanda sekarang ini seperti apa. Pada intinya, gagasan pemerintahan Sjahrir 66
tahun yang lalu adalah konsep yang dilakukan Eropa modern sekarang ini.
Pemilu
1955 pun berjalan. Ide Sjahrir ini kurang dapet banyak tanggapan dari rakyat
waktu itu. Sejak saat itu, karir politik Sjahrir terus merosot dan betul-betul
menghilang. Pada 7 Januari 1962, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno saat melewati jalan Cendrawasih (Makassar), seseorang melemparkan
granat. Granat itu meleset, Presiden Sukarno selamat.
Dalam
peristiwa itu, Sjahrir dituduh mendalangi percobaan pembunuhan itu. Presiden
Sukarno yang saat itu lagi pusing banget menghadapi banyak pemberontakan dalam
negeri, agak gelap mata. Sukarno langsung menjadikan Sjahrir sebagai tersangka
tanpa proses pengadilan, dan menempatkan Sjahrir sebagai tahanan di Madiun,
lalu di Kebayoran baru-Jakarta.
Walaupun
selama di tahanan Sjahrir diperlakukan cukup baik, tapi keadaan fisiknya terus
menurun. Sampai akhirnya, Sutan Sjahrir terkena serangan 2x stroke hingga
membuat Sjahrir tidak mampu berbicara dan agak lumpuh tangan kanannya.
Akhirnya, Sukarno memperbolehkan Sjahrir mendapatkan perawatan di luar negeri,
asalkan bukan di Belanda. Keluarga Sjahrir memilih Zurich-Swiss, sebagai tempat
pengobatannya.
dokumentasi foto iring-iringan pengantar
jenazah Sutan Sjahrir
Bulan
Juli 1965, Sjahrir beserta keluarganya terbang ke Zurich. Momen itu pula lah
yang menjadi momen terakhir Sjahrir melihat tanah air yang ia perjuangkan
sepenuh jiwa-raga. Di momen ini, kaki Sjahrir terangkat terakhir kali untuk
selamanya dari Indonesia. Tidak lama setelah peristiwa Supersemar, tepatnya 9
April 1966, Sutan Sjahrir meninggal dunia pada umur 57 tahun di Swiss. Hatta
terlihat sangat depresi karena ditinggal sahabatnya tersebut. Sampai hari
pemakaman, Hatta masih sangat kecewa dengan keputusan Sukarno yang memenjarakan
Sjahrir tanpa proses peradilan. Triumvirat Kemerdekaan Indonesia akhirnya resmi
bubar.
Selama
5 hari setelah Sjahrir meninggal, Indonesia berkabung total. Beberapa bulan
sebelumnya, ternyata Presiden Sukarno telah mempersiapkan Keppres nomor 76
tahun 1966 untuk menjadikan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional sekaligus
permintaan agar Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Setelah tiba di Jakarta, jenazah Sjahrir diantar oleh ratusan ribu orang ke
pemakamannya. Bayangin, rombongan paling depan udah nyampe Kalibata, rombongan
paling belakang baru sampe Bundaran Hotel Indonesia.
Itulah
sepenggal kisah tentang Bung Kecil yang keberanian hidupnya yang besar.
Moga-moga kehidupan dan perjuangan beliau bisa menjadi sumber inspirasi bagi lo
semua. Selamat ulang tahun, Bapak Bangsa Indonesia. Semoga semakin banyak anak
muda Indonesia yang mengenal, memahami, serta terinspirasi dari karya
kehidupanmu. Merdeka!
Referensi:
Mrazek,
R; Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia; Southeast Asia Program
Publications Cornell University; 1994
Rose,
M; Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta; Equinox Publishing,
2010
Seri
Buku Tempo: Bapak Bangsa; Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil; 2012, KPG
Sjahrir,
Soetan "Indonesische overpeinzingen" (Publisher: Bezige Bij,
Amsterdam, 1945)
Anwar,
Rosihan (2010) Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan
Anwar,
Rosihan.2010.Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan
yang Tersisih dan Terlupakan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar